FISIOLOGI PENDENGARAN (penentuan tinggi nada dan penentuan keras suara)

FISIOLOGI PENDENGARAN (penentuan tinggi nada dan penentuan keras suara)

Oleh : Pitnariah

Pendengaran seperti halnya indera somatic lain merupakan indera mekanoresptor karena telinga memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di udara. Bab ini menjelaskan dan menerangkan mekanisme telinga menerima gelombang suara diskriminasi frekuensinya dan akhirnya penghantaran informasi pendengaran ke susunan saraf pusat.

a. Membrane timpani dan system osikular


Membrane tempani dinamakan gendang telinga dan system osikular, yang menghantarkan suara melalui telinga tengah membrane timpani berbentuk kerucut dengan permukaan yang cekung menghadap ke bawah mengarah ke saluran pendengaran yang melekat patda begian tengah-tengah membrane timpani adalah tangkai malekus pada ujung lain, malleus terkat erat denga inkus oleh ligamentum sebingga bila maleus bergerak incus bergerak serentak dengannya. Ujung lain inkus selanjutnya bersendi dengan batang stapes dan permukaan lebar stapes terletak pada labirin membranosa pada lubang foramen ovale tempat gelombang suara dihantarkan ketelinga dalam yang dinamai kokhlea.

Tulang-tulang telinga tengah tergantung oleh gamentum-ligamentum sedemikian rupa sehingga gabungan maleus dan inkus bekerja sebagai satu ungkit yang mempunyai titik tumpu kira-kira pada perbatasan membrane timpani. Kaput mali yang besar yang dari tangki terletak pada sisi yang berlawanan dari titik tumpu hamper tepat mengimbangi ujung pengungkit lain sehingga perubahan posisi tubuh tidak akan menamah atau mengurangi tegangan membrane timpani.

Tangki maleus terus menerus tertarik ke dalam oleh ligamentum dan oleh M. tensor timpani, yang mempertahankan membrane timpani berada dalam tegangan. Hal ini memungkinkan getaran sura pada bagian membrane timpani manapun dihantarkan ke maleus yang tidak akan terjadi bila membrane lemas.

Pencocokan impedans oleh system osikular. Amplitude pergerakan perrmukaan lebar stapes pada tiap getaran suara hanya tiga perempat besr amplitude tangkai maleus. Oleh karena itu, system pengungkit osilular tidak memperbesar pergerakan seperti yang sering diduga tetapi sebagai gantinya system meningkatkan gaya pergerakan sekitar 1,3 kali juga luas permukaan membrane timpani sekitar 55 mm2 sedangkan luas permukaan stapes sekitar 3,2 mm2 selisih 17 kali dikalikan rasio 1,3 kali dari system pengungkit memungkinkan semua energy gelombang suara yang mengenani membrane timpani dikerahkan pada permukaan lebaer stapes yang kecil, menyebabkan tekanan pada cairan kolea kira-kira22 kali besar tekanan yang ditimbulkan oleh gelomang suara yang mengenai membrane timpani. Karena cairan mempunyai inersia yang lebih besar daripada udara. Mudah di mengrerti bahwa peningkatan jumlah tekanan dibutuhkan untuk menimulkan geraran pada cairan oleh karena itu membrane timpani dan system osikular membreikan cpncocokan impedans (impedance matching) antara gelombang suara dalam udara dan getaran suara dalam cairan koklea.

Pelemahan suara oleh kontraksi M stapendius dan M. tensor timpani. Bila suara yang keras dihantarkan melalui system osikular ke susunan saraf pusat terjadi suatu refleks setelah masa laten hanya 40 mil detik yang menyebakan kontruksi.


b. Koklea

Kokhlea merupakan suatu system tabung-tabung bergelung, dengan bersebelahan yang bergelung skala vestibule dan skala media, dan skala timpani. Skala vestibule. Membrane basilaris dan resonansi pada koklea. Membrane basilaris mengandung sekitar20.000 serabut basilaris atau lebih yang menonjol dari tengah tulang koklea, modiolus. Dan kearah dinding luar serabut-serabut ini merupakan struktur yangkaku elastic menyerupai buluh yang bebas pad ujung distalnya kecuali yang terikat pada membrane basilaris. Karena seraut ini kaku dan bebas pada salah saru ujungnya ia tidak dapat bergetar menyerupai buluh-buluh harminika.

Penjang serabut basilaris secara progresif bertambahdari basis koklea ke hlikotrema, dari kira-kira pada 0,04 mm. pada basis sampai 0,5 mm. pada helikoterna, peningkatan panjang 12 kali. Garis tengah serabut, sebaliknya berkurang dari basis ke helikotrena, sehingga secarakeseluruhan kekakunnya rurun lebih dari 100 kali. Seagai akibatnya serabut yang kaku pendek dekat basis koklea mempunyai kecenderungan bergetar pada frekuensi tinggi. Sedangkan serabut-serabutnya yang panjang lentur dekat helikotrema mempunyuai kecenderungan bergetar pada frekuensi rendah


c. Fungsi organ corti


Organ corti. Merupakan organ reseptor yang menimbulkan impuls saraf akibt getaran membrane bersilaris. Organ corti adalah dua jenis sel rambut saru baris sel rambut dalam jumlahnya sekitar 3500 dan tiga empat baris sel rambut luar jumlah sekitar 20.000. Dasar dan tempat sel-sel rambut dijepit oleh jaringan ujung-ujung N. koklearis. Ini membentuk ganglion spiralis corti yang terletak pada modiolus koklea. Ganglion spiralis selanjutnya mengirimkan akson-akson ke N. koklearis dan kemudian ke susunan saraf pusat setinggi medulla oblonganta atas. Hubungan organ corti dengan ganglion spinalis dan dengan nervus koklearis.


d. Penentuan nada fitch princip letak


Dari pembicaraan sebelumnua dalam baba ini telah nyata bahwa suara dengan tinggi nada yang rendah. Menyeabkan pengaktifan maksimum membrane basilis dengak apeks koklea, suara dengna tinggi nada yang tinggi mengaktifkan membrane basilaris dekat basis koklea, dan frekuensi menengah mengaktifkan memberana di antara kedua nilai yang eksterm terseut selanjutnya terdapat susunan ruang serabut dari koklea ke nuklai koklearis dalam batang otak serabut dari masing-masing area membrane basilaris berakhir pada area yang sesuai dalam nuklai koklearis. Akan kita lihat kemudian bahwa susunan ruang ini tetap ada sepanjang jalan ke batang otak sampai korteks serebri. Isyarat yang dicatat dari traktus sudirorious dalam batang otak dan dalam daerah reseptif pendengaran korteks serebri menunjukan bahwa neuron-neuron diaktifkan oleh tinggi nada tertentu. Oleh karena itu cara yang digunakan oleh system saraf untuk mendeteksi berbagai tinggi nada adalah penentuan letak sepanjang membrane basilaris yang paling terangsang. Ini dinamakan prinsip letak untuk penentuan tinggi nada


e. Penentuan keras suara


Keras suara ditentukan oleh amplitudo getaran membrane basilaris dan sel-sel rambut. Peningkatan amlitudo geraran merangsang ujung saraf lebih cepat dan juga menyebabkan makin banyak sel-sel rambut pada pinggir bagian membrane basilaris yang bergetar muali terangsang, jadi menyebabkan sumasi rang bagi impuls yaitu penghantaran melalui banyak serabut saraf bukan melalui beberapa serabut saraf.

Sensasi perubahan suara yang diinterperstasikan kira-kira sebanding dengan akar pangkat tiga intensitas bunyi sebenarnya. Untuk menyatakan ini dengan jalan lain telinga dapat membedakan perubahan intensitas suara dari suara bisikan yang terlemah sampai suara yang paling keras energy suaranya kira-kira sekitar satu triliun kali. Namun, telinga telinga menginterprestasikan perbedaan benda dalam tingkat suara ini sebagai mendekati perubahan 10.00 kali cepat. Jadi, sekala intesitas sangat ditekan oleh mekanisme persepsi suara system pendengaran hal ini jelas memungikinkan seseorang menginterprestasikan berbagai intesitas melebihi batas yang sangat luas batas-batasnya akan jauh lebih luas bila tidak dilakukan penekanan pada skala ini.

Dalam desibl. Karena perubahan intensitas suara yang sangat luas yang dapat dideteksi dan dibedakan oleh telinga intensitas suara biasanya dinyatakan sebagai logaritma intensitas sebenarnya peningkatan 10 kali energy suara dinamakan 1 bel, dan satu persepuluh dinamakan 1 deisbel. Satu deisbel menggambarkan peningkatan intensitas sebenarnya sebesar1,26 kali.

Alasan lain menggunakan system deisbel dalam menyatakan perubahan kekerasan suara adalah bahwa dalam batas intensitas suara yang bias untuk komunikasi telinga dapat terdeteksi perubahan intensitas suara kira-kira 1 deisel.


f. Batas frekuensi pendengaran


Frekuensi suara yang dapat didengar oleh seorang muda sebelum proses penemuan terjadi pada telinga umumnya dinyatakan antara 30 dan 20.000 sikluasi per detik akan tatapi, batas suara sangat tergantung pada intensitas. Bila intensitas hanya -60 desiber. Batas suara adalah 500 sampai 5.000 siklus per detik tetapi, bila intensitas suara adalah -20 desibel batas frekuensi sekitar 70 sampai 15.000 siklus per detik dan hanya dengan suara yang kuat dapat di capai batas lengkap 30 sampai 20.000 siklus perdetik pada orang tua batas frekuensi turun dari 50 dampai 8.000 siklus per detik atau kurang.


g. Mekanisme pusat pendengaran

Diperlihatkan bahwa seraut dari gang spiralis organ coroti masuk ke nuclei koklesris yang terletak pada bagian atas medulla oblongata pad atempat ini semua serabut bersinapsis kemudian seagian isyarat dihantar ke atas ke gang otak sisi yang sama terletak pada bagian atas medulla. Sebagian isyarat dihantar ke atas ke batang otak sisi yang berlawanan dan dihantarkan ke atas melalui rangkaian neuron di dalam nucleus olivaris superior. Koloekulus inferior dan nucleus genikulatum meiale akhirnya berakhir di dalam korteks pendengaran yang terletak di dalam girus superior lobus temporalis.

Beberapa tempat penting harus dicatat dalam hubunganya dengan lintasan pendengaran pertama implus dari masing-masing telinga dihantarkan melalui lintasan pendengaran kedua batang sisi hanya dengan sedikit lebih banyak penghantaran pada lintasan kontralateral.

Kedua banyak serabut kolateral dari traktus audiorius erjalan langsung ke dalam system retikularis batang otak sehingga bunyi dapat mengaktifkan keseluruhan otak. Ketiga orientasi ruang derajat tinggi dipertahankan dalam serabut traktus yang berasal dari koklea yang semuanya menuju korteks ternyata terdapat tiga representasi ruang frekuensi suara pada kolikulus inferior,


h. Fungsi korteks serebri pada pendengaran


Proyaksi lintasan pendengaran korteks serebi yang menunjukan bahwa korteks pendengaran terletak reutama pada daerah sepratemporal girus tempralis superior. Tetapi juga meluas melewati batas lateral lobus temporalis jauh melewati korteks insula dann malahan sampai ke bagian paling lateral lobus parietalis

Tempat presepsi frekuensi suara pada korteks pendengaran priner. Tempat pendengaran tertentu korteks priner dikenal beberapa frekuensi tinggi dan bagian-bagian lain terhadap frekuensi tinggi sedangkan bagian anterolateral terhadap frekuensi rendah. Deduga lokalisasi. Frekuensi yang sama terdapat pada korteks manusia tetepi hal ini belum dibuktikan.


i. Diskriminasi arah asal suara


Mekanisme saraf untuk deteksi arah suara. Destruksi korteks. pendengaran pada kedua sisi otak baik pada manusia atau pada mamalia yang lebih rendah menyebabkan kehilangan sebagian besar kemampuannya mendeteksi arah asal suara. Namun, mekanisme untuk deteksi ini berlangsung mulai pada nuklei superior walaupun memerlukan semua lintasan saraf dari nuklai ini ke korteks untuk interpretasi isyarat mekanisme ini diduga sebagai berikut :

Bila suara masuk satu telinga segera sebelum ia masuk telinga lainnya isyarat dari telinga pertama menghambat neuron-neuron pada nukleus olivaris superior ipsilateral dan penghanbatan ini berlangsung selama kurang dari saru milidetik, oleh karena itu beberapa saat setelah suara mencapai telinga pertama lintasan untuk isyarat eksitasi dari telinga sisi yang lain berada dalam keadaan terhambat. Selanjutnya neuron-neuron tertentu dari nuclei olivaris superior medialis mempunyai waktu penghambatan yang lebih lama daripada neuron lainnya oleh karena itu bila isyarat suara dari telinga yang lain masuk ke nuklaus olivaris superior yang dihambat isyarat tidak dapat mendaki lintasan pendengaran melalui beberapa neuron tetepi tedak melalui neuron lainnya. Dan neuron tertentu tempat isyarat lewat ditentukan oleh selisih waktu suara antara kedua telinga.


j. Ketulian


Tuli biasanya dibagi dalam dua jenis. Pertama yang sisebabkan oleh gangguan koklea atau saraf pendengaran, yang biasanya dimasukkan dalam tuli saraf dan kedua yang disebabkan oleh gangguan mekanisme telinga tengah untuk menghantarkan suara ke koklea, yang biasanya dinamakan tuli hantaran sebenarnya bila koklea atau saraf pendengaran diruasaktotal orang tuli total akan tetapi bila koklea dan saraf masih utuh tetapi system osikular rusak atau mengalami ankilosis kaku karena fibrosis atau kalasifikasi gelombang suara tetap dapat dihantarkan kekoklea dengan cara konduksi tulang seperti penghantaran bunyi dari ujung garputala yang ergetar, yang ditempelkan langsung pada tengkorak.



DAFTAR PUSTAKA

Arthur C. Guyton, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit ed 3, Jakarta : EGC, 1990

Dampak Gagal Ginjal Akut Terhadap KDM

Oleh : OTONG MEMET


A. PENGERTIAN

Gagal Ginjal Akut merupakan klinis akibat kerusakan metabolitik patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Gagal ginjal akut biasanya disertai oliguria tetapi oliguria tidak merupakan gejala klinis, secara klinis istilah nerksosis tubulous akut sering dipakai.


B. SEBAB-SEBAB GAGAL GINJAL AKUT


1. Prarenal (gagal ginjal sirkulatorik)


a. Hipovelemia (perdarahan terutama post partum, abrupsio palsenta, lula bakar, kehilangan melalui saluran cerna seperti pada pankreatitis atau gastyroentertitis, pemakaian divretik berlebihan).
b. Terkumpulnya cairan intravaskuler (syok septik, anafilaksis, cedera remuk).
c. Penurunan curah jantung (gagal jantung, infark miokardium, tamponade jantung, emboli paru).
d. Peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal (pembedahan, anastesia, sindrom hepatorenal).
e. Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis).

2. Posternal (uropati obstruktif akut)

a. Obstruksi pada muara kandung kemih (hipertropi prostat, karsinoma).
b. Obstruksi ureter bilateral (kalkuli, bekuan darah, tumor, fibrosis, retriperitoneal, trauma pembedahan, papilitis nekritikans).
c. Obstruksi duktus pengumpul ginjal (asam urat, sulfa)

3. Ginjal (gagal ginjal intrinsik)


a. Iskemia (semua keadaan prarenal, syok pasca bedah).
b. Nefrotoksin, pelarut organik (karbon tetraklorida).
c. Logam berat (merkuri biklorida, arsen, timbale, uranium).
d. Antibiotik (metiisilin, aminoglikosida, tetrasiklin, ampoperisin, sefalosporin, sulfanonamide, fenitoin, fenilbutazon).

4. Penyakit Ginjal Glumerulo Vaskular

a. Glomerulonegritis pasca strptokok akut.
b. Glomeruloneftritis progressif cepat.
c. Hiper maligna.
5. Netritis interstisial akut (infeksi yang berat, induksi obat)
6. Keadaan akut pada gagal ginjal kronik yang berkaitan dengan kekurangan garam air, muntah, diare, infeksi.


C. PATOFISOLOGI GAGAL GINJAL

Penurunan aliran darah ke ginjal dan GFR yaitu disebabkan oleh :
1. Obstruksi tubulus.
2. Kebocoran cairan tubulus.
3. Penurunan permeabilitas glomerulus.
4. Disfungsi vasomotor
5. Umpan balik tubuloglomerulus.

Obstruksi tubulus mengakibatkan deskuamasi dari sel-sel tubulus yang nekrotik dan materi protein lainnya yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembekakan selular akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus meningkat, sehinga tekanan filtrasi glomerulus menuru. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada gagal ginjal akut yang disebabkan oleh logam berat atau iskemia berkepanjangan.
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrana basalis dapat terlihat pada Nekrotik Tubular Akut (NTA) yang berat, yang merupakan dasar anatomik dari mekanisme ini.

Sindrom NTA menyatakan adanya abnormalitas dari tubulus ginjal, keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan sel-sel membrana basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan menurunya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Akibatnya ada penurunan ultaviltrasi glomerulus.

Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkungan sampai 30% dari normal pada GGA oliguria. Tingkat RBF ini dpaat diserta GFR yang cukup besar. Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau bahkan lebih rendah dibandingkan dengan bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu bukti-bukti percobaan menunjukkan bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dengan demikian hipofertusi ginjal saja tidak bertanggungjawab terhadap besar penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang ditemukan pada GGA. Meskipun demikian, terdapat bukti-bukti perubahan yang nyata pada distribusi intrarenal aliran darah dari korteks ke medula selama hipotensi akut atau hipotensi yang berkepanjangan.

Hal ini dapat dilihat kembali bahwa pada normal kira-kira 90% darah diditribusikan di korteks (tempat dimana terdapat glomeruli) dan 10% menuju ke medula. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan kemih dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada gagal ginjal akut perbandingan antara distribusi korteks dan medula ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Kontriksi dari arteriol aferen merupakan dasar vakular dari penurunan GFR yang nyata. Iskemia ginjal akan mengaktifasi sistem renin angiotensin dan memperberat iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat dimana iskemia paling berat terjadi selama berlangsungnya GGA pada hewan maupun manusia.

Pada keadaan normal hipoksia ginjal merangsang mensintesis dan PGE dan PGA (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambatkan ginjal untuk mensisteisi prostaglandin. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan NTA.

Teori tubuloglomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat iskemia atau nefrotoksin, gagal untuk menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya, makula densa mendeteksi adanya peningkatan produksi renin dari sel-sel jukstaglomerulus. Terjadi aktivasi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen, mengakibatkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR.

Kejadian awal umunya akibat gangguan iskemia dan nefrotoksin yang merusak tubulus atau glomeruli atau menurunkan aliran darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui beberapa mekanisme yang dapat ada atau tidak dan merupakan akibat cedera awal. Efek merugikan dari perfusi ginjal pada fungsi ginjal sangat jelas. Karena aliran darah ginjal dalam jumlah yang besar dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal ginjal, maka perubahan komposisi urine terjadi lebih dini bila perfusi ginjal menurun. Bila aliran darah ginjal sangat terganggu sebagai akibat baik penurunan volume darah efektif, turunya curah jantung atau penurunan tekanan darah di bawah 80 mmHg terjadi perubahan karakteristik yang jelas terjadi pada fungsi ginjal. Kapasitas untuk otoregulasi sempurna terampau. Laju filtrasi glomerulus (CFG) menurun. Jumlah cairan tubuler menurun, dan cairan mengalir.


D. DAMPAK TERHADAP KDM






DAFTAR PUSTAKA


Syilvia A. Price and Lorraine M. Wilson, PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume 1 Edisi VII, Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997.

Sufa Chasani, Prof, Dr. dr. SpPd, Dasar-dasar Patofisiologi, Penerbit Akademi Keperawatan Muhammadiyah Semarang 1998.

Doenges E. Marilynn dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku kedokteran EGC 2000.






























































DAFTAR PUSTAKA


Syilvia A. Price and Lorraine M. Wilson, PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume 1 Edisi VII, Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997.

Sufa Chasani, Prof, Dr. dr. SpPd, Dasar-dasar Patofisiologi, Penerbit Akademi Keperawatan Muhammadiyah Semarang 1998.

Doenges E. Marilynn dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku kedokteran EGC 2000.

Analisa Dampak Sindroma Nefrotik Terhadap KDM

Oleh : Wawan Hediyanto

1. Pengertian


Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.


2. Etiologi


Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

a. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

b. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh:
1. Malaria kuartana atau parasit lain.
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, air raksa.
5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

c. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya ) 75 – 80 %.

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal, nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.


3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul pada Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka, genital, dan jaringan periorbital.
2. Oligouri
3. Hematuri.
4. Respirasi disstres.
5. Hipertensi.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
8. Tromboemboli


4. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

b. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

c. Sindrom Nefrotik Kongenital

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.


5. Patofisiologi

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.

Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema.

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis.


6. Dampak Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia




Daftar Pustaka

1. Reeve, CJ. Roux, G. Lochart, R. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
2. Stephen J. McPhee, MD dan William F. Ganong, MD. 2005. Pathophysiology. California.
3. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 1995. Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC.
4. Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
5. Rakel & Bope. 2008. Conn's Current Therapy 60th ed.