Penjelasan Masalah Sistem Pencernaan

Saluran pencernaan (gastrointestinal, GI) berjalan dari mulut ke anus. Fungsi saluran Gl adalah untuk ingesti dan pendorongan makanan, pencernaannya, serta penyerapan zat-zat gizi yang penting bagi pertumbuhan dan kehidupan.

sistem pencernaan

ANATOMI

 

Seperti diperlihatkan dalam, saluran Gl berawal di rongga mulut, dan berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian, duodenum, jejunum, dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus. Dari usus halus, makanan disalurkan ke usus besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ-organ tambahan sistem ini meliputi hati, pankreas, kandung em-pedu, dan apendiks.

Seluruh saluran pencernaan terdiri dari beberapa lapisan jaringan: lapisan mukosa (untuk fungsi sekresi) yang terletak paling dalam, lapisan jaringan ikat submukosa, lapisan otot polos sirkular dan longitudinal, dan suatu membran serosa yang terletak paling luar yang disebut lapisan peritoneum (atau adventisial) Lapisan-lapisan ini dihubungkan satu sama lain secara fisik dan melalui hubungan-hubungan saraf.


LAPAR DAN INGESTI MAKANAN

 

Rasa lapar dikontrol oleh sualu daerah otak di hipotalamus sebelah lateral. Perangsangan daerah ini menyebabkan tiinbulnya dorongan kuat. Untuk mencari makanan dan memakannya.

Hipotalamus lateral menerima banyak input yang dapat merangsang rasa lapar. Sebagai contoh, rasa lapar dapat dirangsang oleh adanya kontraksi lapar di lambung. Semakin lama lambung kosong, maka kontraksi ini tampaknya meningkat frekuensi dan intensitasnya. Mekanisme pasti bagaimana kontraksi tersebut terjadi masih belum jelas.

Rasa lapar juga dirangsang oleh turunnya kadar zat-zat gizi dalam darah, misalnya asam amino, lemak, dan ghikosa, serta oleh peningkatan alau pcmiriman hormon-liormon yang mengatur metabolisme.

Input ke pusat lapar hipolalamus dapat mencakup input dari bagian-bagian otak yang lain. Misalnya, pusat-pusat otak yang lebih tinggi dapat merangsang rasa lapar sebagai respons terhadap situasi atau pengalaman tertentu. Demikian juga, input dari pusat emosi di otak, sistem limbik, juga dapat merangsang rasa lapar.

Sebaliknya, nukleus ventromedialis hipotalamus tampaknya merupakan tempat munculnya rasa kcnyang, kebalikan dari rasa lapar. Pusat ini juga dipengaruhi oleh penuh tidaknya lambung serta kadar zat-zat gizi dan hormon dalam darah, telapi dalam arah yang berlawanan. Emosi dan kebiasaan juga mempengaruhi pusat kenyang.


PENDORONGAN MAKANAN MELINTASI SALURAN CERNA

 

Setelah dibawa ke dalam mulut, makanan mulai bergerak ke esofagus, lambung, serta usus halus dan usus besar. Gerakan ini disebut pendorongan (propulsi). Kecepatan pendorongan makanan tergantung pada motilitas masing-masing bagian saluran pencernaan. Motilitas masing-masing bagian tersebut, sebaliknya, ditentukan oleh kontraksi otot serta input hormonal dan saraf.

Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung di sepanjang perjalanannya dan memerlukan motilitas yang optimum di setiap segmen saluran pencernaan.


KONTROL OTOT ATAS MOTILITAS USUS

 

Saluran GI terdiri dari dua lapisan otot polos utama, lapisan longitudinal di sebelah Iuar dan lapisan otot sirkular di sebelah dalam. Lapisan otot ketiga berukuran sangat tipis, terletak paling dalam di lapisan mukosa saluran GL Lapisan otot longitudinal dan sirkular bertanggungjawab untuk mencampur dan menggerakkan makanan di sepanjang saluran GI.

Di setiap segmen saluran GI, otot polos longitudinal dan sirkular memperlihatkan depolarisasi spontan yang inheren. Depolarisasi inheren ini dapat meningkat intensitasnya dan dapat menimbulkan potensial aksi sehingga terjadi kontraksi otot. Frekuensi kontraksi bervariasi.

Kontraksi usus dapat bersifat tonik yaitu kontraksi yang menetap dan berlangsung lama, dan melibatkan tonus otot saluran cerna secara keseluruhan. Kontraksi juga dapat bersifat ritmik dan berjalan dalam gelombang-gelombang peristaltik ke bagian distal. Kontraksi usus bersii'at lambat dan bergantung kalsium yang berlangsung pada rentang panjang otol yang lebar.

Sel-sel otot polos saluran GI berhubungan erat satu sama lain di sepanjang usus, sehingga depolarisasi listrik di salah satu segmen dapat dengan mudah disalurkan ke segmen berikutnya. Sel-sel otot dapat dirangsang untuk melepaskan muatan dengan kecepatan yang berbeda dengan kecepatan basal oleh peregangan atau oleh pelepasan asetilkolin dari saraf parasimpatis yang inempersarafinya. Persarafan parasimpatis menurunkan kecepatan lepas muatan sel-sel otot tersebut.


KONTROL HORMON ATAS MOTILITAS USUS

 

Hormon misalnya gastrin dari lambung, serta sekretin dan kolesistokinin (CCK) dari usus halus, juga dapat mempengaruhi kecepatan kontraksi sel otot polos atau, dengan kata lain, motilitas usus.

Gastrin merangsang motilitas lambung. Sekretin dan CCK merangsang motilitas usus telapi (terutama sekretin) menghambat motilitas lambung. Hal ini memperlambat pengosongan isi lambung ke dalam usus halus.


KONTROL SARAF ATAS MOTILITAS USUS

 

Terdapat dua sistem saraf intrinsik di seluruh usus. Yang pertama terletak diantara lapisan otot longitudinal dan sirkular. Kelompok saraf ini, yang disebut pleksus mienterikus, terdapat sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri dan terdiri dari jalur aferen dan eferen yang mempersarafi otot.

Pleksus mienterikus bekerja dengan mempengaruhi irama listrik dasar sel-sel otot polos. Eksitasi pleksus mienterikus akan meningkatkan kontraksi tonik yang meningkatkan tonus basal saluran pencernaan. Eksitasi tersebut juga meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksi ritmik sehingga peristalsis meningkat.

Pleksus saraf intrinsik kedua terletak di lapisan submukosa saluran GI. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel-sel sekretork. Pleksus ini terletak di bawah otot polos sirkular dan di atas lapisan nuikosa. Eksitasi pleksus submukosa menyebabkan peningkatan fungsi sekrqforik saluran GI.

Neuron-neuron sensorik yang terdapat di kedua pleksus berespons terhadap partikel makanan, iritan, mikro-organisme, dan peregangan dengan meningkatkan kecepatan pelepasan muatannya dan, melalui perangsangan pleksus mienterikus, meningkatkan motilitas saluran GI.

Pleksus saraf mienterikus juga dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Serat-serat simpatis berasal dari korda spinalis yang terletak antara T8 dan 1.3 dan mempersarafi pleksus intrinsik di seluruh usus.

Serat-serat ini menghambat pelepasan muatan pleksus sehingga irama dasar usus melambat. Saraf simpatis mengeluarkan norepinefrin di usus. Saraf parasimpatis berjalan dalam saraf vagus ke esofagus, lambung, dan separuh atas usus besar. Serat parasimpatis lain berjalan dalam divisi sakrum dan mempersarafi separuh distal usus besar.

Saraf parasimpatis mengeluarkan asetilkolin dan merangsang pelepasan muatan pleksus mienterikus. Hal ini mempercepat peristalsis dan pencampuran makanan. Persarafan bagian distal usus besar penting untuk merangsang defekasi. Usus halus tampaknya tidak dipersarafi oleh saraf parasimpatis.


PENCERNAAN MAKANAN

 

Pencernaan makanan berawal di mulut dengan pelepasan air liur (saliva), berlanjut di lambung, dan sebagian besar diselesaikan di usus halus. Proses pencernaan melibatkan enzim-enzim sekretorik yang spesifik untuk berbagal makanan dan bekerja untuk menguraikan karbohidrat menjadi gula sederhana, lemak menjadi asam lemak bebas dan monoglise-rida, serta protein menjadi asam amino. Hanya dalam bentuk-bentuk sederhana inilah zat-zat gizi dapat diserap menembus usus dan digunakan oleh tubuh.


ENZIM SEKRETORIK

 

Kelenjar-kelenjar sekretorik dijumpai di seluruh lapisan submukosa dan mukosa saluran GI dari mulut sampai anus. Sekresi enzim-enzim pencernaan dapat ditingkatkan dengan peregangan, perangsangan saraf oleh pleksus submukosa, dan perangsangan kelenjar submukosa oleh sistem parasimpatis. Perangsangan simpatis mengurangi sekresi. Enzim-enzim dari pankreas juga penting untuk pencernaan.


HORMON PENCERNAAN

 

Gastrin, sekretin, dan CCK berperan penting untuk merangsang pencernaan. Gastrin dikeluarkan oleh lambung sebagai respons terhadap perangsangan parasimpatis, peregangan, dan adanya protein. Gastrin merangsang sekresi getah lambung untuk memulai pencernaan protein dan sekresi asam hidroklorida (HCl). HCl dalam lambung bertanggungjawab untuk mengaktifkan enzim pencernaan terpenting di lumbung, pepsin.

Sekretin dikeluarkan dan usus halus terutama sebagai respons terhadap HCl dalam makanan (kimus) yang masuk ke dalam usus halus darl lambung. Sekretin merangsang sekresi usus serta pengeluaran bikarbonat oleh pankreas, untuk menetralkan asam. Hal ini penting karena enzim-enzim yang diperlukan untuk pencernaan di usus halus tidak dapat bekerja dalam lingkungan asam.

CCK dilepaskan dari usus halus terutama sebagai respons terhadap lemak. CCK menyebabkan sekresi usus, kontraksi kandung empedu, dan pengeluaran empedu. Empedu penting untuk pencernaan lemak.


PENYERAPAN MAKANAN

 

Penyerapan makanan yang telah dicerna terjadi di lapisan mukosa usus halus. Mukosa dilapisi oleh banyak vilus yaitu tonjolan-tonjolan (jonjot) halus sel epitel. Vilus sangat meningkatkan luas permukaan penyerapan. Di dalam lumen dari masing-masing vilus terdapat jaringan kapiler dan sebuah pembuluh limfe, yang disebut lakteal. Di setiap vilus terdapat serat-serat saraf pleksus intrinsik dan sel-sel otot polos.

Asam-asam amino dipindahkan secara aktif menembus sel-sel epitel untuk masuk ke dalam kapiler. Asam-asam amino tersebut kemudian disalurkan melalui aliran darah ke semua sel tubuh, terutama sel-sel otot, tempat mereka digunakan untuk sintesis protein. Asam amino yang tidak digunakan dengan cara ini disalurkan ke hati tempat asam tersebut diubah menjadi karbohidrat atau lemak dan digunakan untuk energi atau disimpan di seluruh tubuh.

Gula-gula sederhana juga secara aktif dipindahkan ke dalam aliran darah dan dikirim ke semua sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Gula yang tidak digunakan dengan cara Ini dapat disimpan sebagai lemak alau glikogen di semua sel, terutama di sel-sel hati.

Asam-asam lemak bebas dan monogliserida, merupakan hasil metabolisme lemak, bersifat larut lemak dan berpindah melalui proses difusi pasif ke dalam sel-sel usus. Di dalam sel tersebut, mereka diubah kembali menjadi trigliserida, suatu proses yang memerlukan energi.

Trigliserida ini masuk ke laktat di bagian tengah vilus dan berjalan ke duktus tornsikus lain ke sirkulasi umum. Trigliserida dapat diubah menjadi glukosa di hati dan digunakan sebagai sumber energi, atau dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi oleh sebagian besar sel tubuh. Kelebihan trigliserida dapat disimpan di jaringan adiposa.


SEKRESI MUKUS

 

Mukus disekresikan di seluruh panjang usus. Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkus dinding usus dan berfungsi sebagai pelindung mukosa agar tidak dicerna oleh enzim-enzim yang terdapat di dalam usus. Mukus juga berfungsi sebagai pelumas makanan sehingga mudah Iewat.

Tanpa pembentukan mukus, integritas dinding usus akan sangat terganggu, terutama di lambung tempat terdapatnya MCI dalam konsentrasi tinggi dan merupakan komponen esensial untuk pencernaan protein. Selain itu, tinja akan menjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari mukus.


PERAN EMPEDU 

 

Empedu dihasilkan dalam hati dan mengandung garam-garam empedu, air, kolesterol, bilirubin suatu produk penguraian metabolisme sel darah merah dan elektrolit. Empedu secara kontinyu dikeluarkan dari hati tetapi disimpan dan dipekatkan di kandung empedu. Empedu dikeluarkan dari kandung empedu sebagai respons terhadap CCK, dan sebagai respons terhadap adanya lemak di usus halus.

Empedu penting untuk pencernaan trigliserida (juga disebut lemak). Empedu tidak mengandung enzim-enzim pencernaan tetapi mengandung garam-garam empedu yang berfungsi untuk mengemulsifikasi lemak. Garam empedu bekerja sebagai deterjen untuk menguraikan lemak menjadi butiran-butiran yang sangat halus. Hanya dalam bentuk butiran-butiran halus inilah lemak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan.


PENCERNAAN LEMAK

 

Setelah lemak dicerna menjadi asam-asam lemak dan monogliserida, mereka berikatan dengan garam-garam empedu menjadi bulatan-bulatan kecil yang disebut misel (micelle). Dalam bentuk ini, produk akhir pencernaan lemak yang larut tersebut berdifusi ke lapisan sel epitel usus halus. Garam-garam empedu melepaskan asam lemak dan monogliserida ke sel epitel.

Sebagian besar asam lemak dan monogliserida kemudian berikatan kembali untuk membentuk trigliserida. Dari titik ini, di sel epitel trigliserida berikatan dengan kolesterol dan fosfolipid. Kompleks ini terbungkus oleh protein, keluar sel epitel, dan berpindah dengan difusl pasif ke dalam lakteal. Kompleks trigliserida, kolesterol, dan fosfolipid disebut kilomikron. Kilomikron diangkut dalam limfe ke duktus torasikus dan kemudian masuk kembali ke sirkulasi umum.

Setelah berada dalam sirkulasi umum kilomikron disalurkan ke sebagian besar sel lubuh tempat trigliserida dapat disimpan atau kembali diuraikan menjadi asam lemak dan digunakan sebagai sumber energi seperti dijelaskan di atas.


RESIRKULASI EMPEDU

 

Setelah menyalurkan asam lemak dan monogliserida ke vilus, garam-garam empedu mengalir kembali ke kimus (chyme) untuk mengambil kembali lebih banyak molekul dan mengulangi proses tersebut.

Sebagian besar garam empedu akhirnya diserap kembali di ujung usus halus dan didaur ulang ke hali melalui vena portal untuk digunakan kembali. Proses ini disebut sirkulasi enterohepatik.


ELIMINASI PRODUK SISA

 

Penyerapan terus berlanjut di usus besar, terutama air dan elektrolit. Sebagian besar penyerapan berlangsung di separuh atas kolon. Dari sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usus besar setiap hari, hanya 100 ml cairan dan hampir tidak ada elektrolit yang diekskresikan.

Selain air, yang membentuk sekitar 75% dari feses, feses mengandung bakteri yang mati, sebagian lemak dan bahan makanan kasar yang tidak dicerna, dan sejumlah kecil protein. Produk sampingan bilirubin menentukan warna tinja.
Proses eliminasi, atau defekasi, terjadi karena kontraksi peristaltik rektum. Kontraksi ini dihasilkan sebagai respons terhadap perangsangan otot polos longitudinal dan sirkular oleh pleksus mienterikus. Pleksus mienterikus dirangsang oleh saraf parasimpatis yang berjalan di segmen sakrum korda spinalis. Peregangan mekanis terhadap rektum oleh tinja juga merupakan perangsang peristalsis yang kuat. Scwaktu gelombang peristaltik dimulai, sfingter anus internus, suatu otot polos, melemas. Apabila sfingter anus eksternus juga melemas maka akan terjadi defekasi.

Sfingter anus eksternus adalah suatu otot rangka sehingga di bawah control kesadaran. Pada kenyataannya, relaksasi sfingter internus menyebabkan kontraksi refleks sfingter eksternus pada semua individu kecuali bayi dan sebagian orang yang mengalami transeksi korda spinalis. Hal ini secara efektif menghentikan defekasi. Apabila refleks defekasi terjadi pada waktu yang tepat setelah sfingter internus melemas, maka kontraksi refleks sfingter eksternus dapat secara sadar dilawan dan defekasi akan berlangsung.


MASALAH-MASALAH UTAMA

 

      ANOREKSIA

 

Anoreksia didefinisikan sebagai hilangnya nafsu makan. Anoreksia sering terjadi sebagai gejala dengan kelainan GI lain, termasuk mual, muntah, dan diare. Anoreksia juga terjadi pada keadaan-keadaan yang tidak berkaitan dengan saluran GI misalnya kanker.

Anoreksia nervosa adalah suatu keadaan di mana seseorang memilih untuk tidak makan karena ketakutan berlebihan menjadi gemuk. Istilah anoreksia nervosa sebenarnya adalah penamaan yang salah karena individu yang mengidapnya tetap memiliki keinginan makan dan tetap merasa lapar, sehingga berdasarkan defmisi bukan benar-benar anorektik.

Sebagian besar orang yang mengalami anoreksia nervosa adalah wanita dewasa muda atau dewasa, sering bersifat perfeksionis, yang menganggap bahwa menjadi kurus adalah tanda keberhasilan atau atlit yang beranggapan bahwa prestasi mereka bergantung pada tingkat kekurusan yang hanya mungkin dicapai melalui pengurangan makan yang ketat.

Walaupun lebih jarang, pria muda juga dapat mengidap anoreksia nervosa. Pada pria muda, keadaan ini sering berkaitan dengan depresi atau kecemasan mengenai orientasi seksual. Setiap orang yang menderita anoreksia nervosa memerlukan terapi intensif dan jangka panjang untuk mengatasi keadaan tersebut.

     MUAL

 

Mual (nausea) adalah sensasi subyektif yang tidak menyenangkun dan sering mendahului muntah. Mual disebabkan oleh distensi atau iritasi di bagian mana saja dari saluran GI, tetapi juga dapat dirangsang oleh pusat-pusat otak yang lebih tlnggi. Interpretasi mual terjadi di medula, dl samping atau bagian dari, pusat muntah.

     MUNTAH

 

Muntah adalah suatu refleks kompleks yang diperantarai oleh pusat muntah di medula oblongata otak. Impuls-impuls aferen berjalan ke pusat muntah sebagai aferen vagus dan simpatis. Impuls-impuls aferen berasal dari lambung alau duodenum dan muncul sebagai respons terhadap distensi berleblhan atau iritasi, atau kadang-kadang sebagai respons terhadap rangsangan kimiawi oleh emelik (bahan yang menyebabkan muntah), misalnya ipekak, Hipoksia dan nyeri juga dapat merangsang muntah melalui pengaktivan pusat muntah.

Muntah juga dapat terjadi melalui pcrangsangan langsung bagian-bagian otak yang terletak dekat dengan pusat muntah di otak. Obat-obat tertentu mencetuskan muntah dengan mengaktifkan pusat ini, yang disebut chemo receptor trigger zone, yang terletak di dasar ventrik keempat.

Muntah yang timbul akibat perubahan gerak yang cepat diperkirakan berlangsung melalui perangsangan trigger zone ini. Pengaktivan chemoreceptor trigger tone dapat secara langsung mencetuskan muntah, atau secara tidak langsung melalui pengaktivan pusat muntah. Input dari pusat-pusal otak yang lebih tinggi di korteks dan peningkatan tekanan intrakranium (TIK) juga dapat merangsang muntah, mungkin dengan secara langsung merangsang pusat muntah.
Muntah proyektil terjadi apabila pusat muntah dirangsang secara langsung, dan sering oleh peningkatan TIK.

Apabila relleks muntah telah diawali di pusat muntah, maka muntah tersebut terjadi melalui pengaktivan beberapa saraf kranialis ke wajah dan kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot abdomen dan diafragma. Eksitasi jaras-jaras ini menyebabkan timbulnya respons muntah yang terkoordinasi. Gejala-gejala tertenlu biasanya mendahului muntah, termasuk mual, takikardia, dan berkeringat.

      DIARE

 

Diare adalah peningkatan keenceran dan frekuensi tinja. Diare dapat terjadi akibat adanya zat terlarut yang tidak dapat diserap di dalam tinja, yang disebut diare osmetik, atau karena iritasi saluran cerna. Penyebab tersering Iritasi adalah infeksi virus atau bakteri di usus halus distal atau usus besar.

Iritasi usus oleh suatu patogen mempengaruhi lapisan mukosa usus, sehingga terjndi peningkatan produk-produk sekretorik, termasuk mukus. Iritasi oleh inikraba juga mempengaruhi lapisan otot sehingga terjadi peningkatan motilitas.
Peningkatan motilitas menyebabkan banyak air dan elektrolit terbuang karena waktu yang tersedia untuk penyerapan zat-zat tersebut di kolon berkurang. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal akibat syok hipovolemik dan kelainan elektrolit.

Toksin kolera yang dikeluarkan oleh bakteri kolera adalah contoh dari bahan yang sangat merangsang motilitas dan secara langsung menyebabkan sekresi air dan elcktrolit ke dalam usus besar, sehingga unsur-unsur plasma yang penting ini terbuang dalam jumlah besar.

Diare juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis, misalnya ketakutan atau jenis-jenis stress tertentu, yang diperantarai oleh stimulasi usus oleh saraf parasimpatis. Juga terdapat jenis diare yang ditandai oleh pengeluaran tinja ber-jumlah kecil tetapi sering. Penyebab diare jenis ini antara lain adalah kolitis ulserativa dan penyakit Crohn.

Bayi dan anak sangat rentan terhadap efek diare dan harus dipantau secara ketat untuk mencari tanda-tanda dini dehidrasi.

     KONSTIPASI

 

Konstipasi didefinisikan sebagai defekasi yang sulit atau jarang. Karena frekuensi berdefekasi berbeda-beda pada setiap orang, maka definisi ini bersifat subyektif dan dianggap sebagai penurunan relatif jumlah buang air besar pada seseorang.
Defekasi dapat menjadi sulit apabila tinja mengeras dan kompak. Hal ini terjadi apabila individu mengalami dehidrasi atas apabila tindakan buang air bcsar ditunda yang memungkinkan lebih banyak air yang dise-rap keluar tinja sewaktu tinja berada di usus besar.

Diet berserat tinggi mempertahankan kelembaban tinja dengan cara menarik air secara osmotis ke dalam tinja dan dengan merangsang peristaltik kolon melalui peregangan. Dengan demikian, urang yang makan makanan rendah serat atau makanan yang sangat dimurnikan berisiko lebih besar mengalami konstipasi. Olah ruga mendurung defekasi dengan merangsang saluran GI secara fisik. Dengan demikian, orang yang sehari-harinya jarang bergerak berisiko lebih tinggi mengalami konstipasi.

Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi dapat menjadi stimulus psikologis bagi seseurang untuk menahan buang air besar dan dapat menyebabkan konstipasi. Input-input psikologis lain juga dapat menyebabkan kelambatan dei'ekasi. Rangsangan simpatis alas saluran menurunkan motilitas dan dapat memperlambat defekasi. Aktivilas simpatis meningkat pada individu yang mengalami stres lama. Obat-obat tertentu misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konslipasi.

Trauma korda spinalis, sklerosis multipel, neoplasma usus, dan hipotiroidisme dapat menyebabkan konstipasi. Suatu penyakit yang ditandai oleh disfungsi pleksus mienterikus di usus besar, yang disebut penyakit Hirschprung (megakolon kongenital), juga menyebabkan konslipasi. Penyakit ini biasanya telah tampak segera setelah lahir.
ULKUS DIABETIKUM

ULKUS DIABETIKUM

Ulkus Diabetikum adalah luka pada kaki yang merah kehitam – hitaman dab berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh sedang atau besar di tungkai (Askandar,2001).

Etiologi
 
Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi menjadi faktor endogen dan ekstrogen.

Faktor endogen 
 
Genetik, metabolik
Angiopati diabetik
Neuropati diabetik

Faktor ekstrogen


Trauma
Infeksi
Obat

Patofisiologi

Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglykemia yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.

Teori Sorbitol

Hyperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktasi akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan menumpuk dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.

Teori Glikosilasi

Akibat hyperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskule.

Terjadinya ulkus diabetikum sendiri disebabkan oleh faktor – faktor yang disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus diabetikum adalah angipati, neuropati dan infeksi.

adanya neuropati perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebnioh besar maka penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu.

Adanya angiopati tersebu akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menmyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh (Levin, 1993) infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angipati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus diabetikum.

Manifestasi klinis

Ulkus diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli membrikan gejala klinis 5 P yaitu :
Pain (nyeri)
Paleness (kepucatan)
Paresthesia (kesemutan)
Pulselessness (denyut nadi hilang)
Paralysis (lumpuh)

Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari fontaine :

Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan)
Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten
Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat
Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus)

Klasifikasi

Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diaberikum dibagi menjadi enam derajat menurut Wagner, yaitu :

Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"
Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit
Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang
Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas
Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas
Derajat V : ulkus pada seluruh kaki atau sebagian tungkai

Penatalaksanaan

Pengobatan ulkus diabetikum terdiri dari pengendalian diabetes dan penanganan terhadap ulkus itu sendiri.

Pengendalian Diabetes
 
Langkah awal penanganan pasien ulkus diabetikum adalah dengan melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena kebanyakan pasien dengan ulkus diabetikum juga menerita mal nutrisi, penyakit ginjal kronis dan infeksi kronis.

DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes salah satunya adalah terjadinya ulkus diabetikum. Jika keadaan gula darah selalu dapat dikendalikan dengan baik diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah paling tidak dihambat.

Mengelola DM langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis diantaranya perencanaan makanan dan kegiatan jasmani, baru bila langkah tersebut belum tercapai dilanjutkan dengan langkah berikutnya yaitu dengan pemberian obat atau disebut pengelolaan farmakologis.

Penanganan Ulkus diabetikum

Strategi pencegahan

Fokus pada penanganan ulkus diabetikum adalah pencegahan terjadinya luka. Strategi yang dapat dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, perawtan kulit, kuku dan kaki serta pengunaan alas kaki yang dapat melindungi. Pada penderita dengan resiko rendah boleh menggunakan sepatu hanya saja sepatu yang digunakan jangan sampai sempit atau sesak. Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita Resiko tinggi adalah kuku harus dipotong secara tranversal untuk mencegah kuku yang tumbuh kedalam dan merusak jaringan sekitar.

Penanganan Ulkus Diabetikum

Penangan ulkus diabetikum dapat dilakukan dalam berbagai tingkatan :

Tingkat 0 : Penanganan pada tingkat ini meliputi edukasi kepada pasien tentang bahaya dari ulkus dan cara pencegahan.
Tingkat I : Memerlukan debrimen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius, perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
Tingkat II : Memerlukan debrimen antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur, perawatan luka dan pengurangan beban yang lebih berarti.
Tingkat III : Memerlukan debrimen yang sudah menjadi gangren, amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat dan pemberian antibiotik parenteral yang sesuai dengan kultur.
Tingkat IV : Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagaian atau seluruh kaki.
Penjelasan Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi Lengkap

Penjelasan Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi Lengkap

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
Sedangkan menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah “menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan pasca resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi.
Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Resusitasi dilakukan pada keadaan henti nafas, misalnya pada korban tenggelam, stroke, obstruksi benda asing di jalan nafas, inhalasi gas, keracunan obat, tersedak, tersengat listrik, koma dan lain-lain. Sedangkan henti jantung terjadi karena fibrilasi ventrikel, takhikardi ventrikel, asistol dan disosiasi elektromekanikal.

Tujuan

Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan resusitasi ini dimulai dengan penilaian secara tepat keadaan dan kesadaran penderita kemudian dilanjutkan dengan pemberian bantuan hidup dasar (basic life support) yang bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).
Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan, sedangkan tujuan tahap III (prolonged life support) adalah pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil akhir dari tindakan resusitasi akan sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan penolong pada tahap I dalam memberikan bantuan hidup dasar.
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekwat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 – 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Resusitasi

Hipoksia yang disebabkan kegawatan pernafasan akan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat.
Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997). Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi akan berhasil apabila dilakukan segera setelah kejadian henti jantung atau henti nafas pada saat kerusakan otak yang menetap (irreversible) belum terjadi. Kerusakan otak yang menetap akan terjadi apabila kekurangan O2 dalam darah tidak segera dikoreksi atau apabila sirkulasi terhenti lebih dari 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998)
Keberhasilan resusitasi tergantung kepada :
1) Keadaan miokardium
2) Penyebab terjadinya henti jantung
3) Kecepatan dan ketepatan tindakan
4) Mempertahankan penderita di perjalanan ke rumah sakit
5) Perawatan khusus di rumah sakit
6) Umur (tetapi tidak terlalu menentukan)

Tatalaksana Tindakan Resusitasi

Penilaian Bayi
Penilaian kegawatan pada bayi dan anak yang mengalami kegawatan tidak lebih dari 30 detik yang meliputi:
1) Airway
Apakah ada obstruksi yang menghalangi jalan nafas, apakah memerlukan alat bantu jalan nafas, apakah ada cedera pada leher.
2) Breathing
Frekuensi nafas, gerak nafas, aliran udara pernafasan, warna kulit/mukosa.
3) Circulation
Frekuensi, tekanan darah, denyut sentral, perfusi kulit (capillary refilling time, suhu, mottling), perfusi serebral, reaksi kesadaran (tonus otot, mengenal, ukuran pupil, postur).

Posisi Bayi

Untuk dapat dilakukan resusitasi jantung paru, penderita harus dibuat dalam posisi terlentang dan diusahakan satu level atau datar. Posisi untuk bayi baru lahir (neonatus) leher sedikit ekstensi, atau dengan meletakkan handuk atau selimut di bawah bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm.

Posisi Penolong

Penolong sebaiknya berdiri disamping penderita dalam posisi dimana ia dapat melakukan gerakan bantuan nafas dan bantuan sirkulasi tanpa harus merubah posisi tubuh.

Teknik Resusitasi 

 

Airway : membuka jalan nafas
1) Tentukan derajat kesadaran dan kesulitan nafas.
2) Buka jalan nafas dengan cara tengadahkan kepala dan topang dagu (head tilt and chin lift) bila tidak terdapat cedera kepala atau leher dengan cara satu tangan pada dahi, tekan ke belakang.
Jari tangan lain pada rahang bawah, dorong keluar dan ke atas. Gerakan ini akan mengangkat pangkal lidah ke atas sehingga jalan nafas terbuka. Lidah yang jatuh ke belakang sering menjadi penyebab obstruksi jalan nafas pada penderita yang tidak sadar.
3) Gerakan mendorong rahang ke bawah ke depan (jaw thrust) juga dapat membuka jalan nafas bila diketahui terdapat cedera leher atau kepala.
4) Membersihkan benda asing dapat dilakukan dengan :
(1) Finger sweep: yaitu dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah penolong untuk membebaskan sumbatan jalan nafas yang diakibatkan oleh sisa makanan.
(2) Heimlich manuver
(3) Abdominal/chest thrust (Gambar 2.4)
(4) Suction (pengisapan): yaitu membersihkan jalan nafas dilakukan pengisapan lendir/cairan dengan menggunakan suction. Pada bayi dimulai dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian bagian hidung supaya tidak terjadi aspirasi dan dilakukan tidak lebih dari 5 detik.
5) Setelah jalan nafas terbuka harus dinilai/evakuasi pernafasan dengan melihat, mendengar dan merasakan adanya hembusan nafas.

Breathing

1) Dekatkan pipi penolong pada hidung dan mulut penderita, lihat dada penderita.
2) Lihat, dengar dan rasakan pernafasan ( 5 – 10 detik).
3) Jika tidak ada nafas lakukan bantuan nafas buatan/Ventilasi Tekanan Positif (VTP) .
4) Pada Neonatus dan bayi <>
5) Pada anak > 1 tahun pasang sungkup yang menutupi mulut, sedangkan hidung dapat dijepit dengan jari telunjuk dan ibu jari penolong.
6) Lakukan tiupan nafas dengan mulut atau balon resusitasi. Berikan nafas buatan untuk neonatus 30-60 kali/menit, dan 20 kali untuk bayi dan anak yang kurang dari 8 tahun.
7) Evaluasi pemberian nafas buatan dengan cara mengamati gerakan turun naik dada. Bila dada naik maka kemungkinan tekanan adekwat. Bila dada tidak naik cek kembali posisi anak, perlekatan sungkup, tekanan yang diberikan, periksa jalan nafas apakah ada mucus atau tidak bila ada dapat dilakukan penghisapan dengan suction.
8) Setelah dilakukan ventilasi selama satu menit, evaluasi apakah bayi atau anak dapat bernafas secara spontan, Lakukan penilaian pulsasi tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pulsasi ada dan penderita tidak bernafas, maka hanya dilakukan bantuan nafas sampai penderita bernafas spontan.

Circulation

1) Jika pulsasi tidak ada atau terjadi bradikardi maka harus dilakukan kompresi dada sehingga memberikan bantuan sirkulasi disertai bantuan nafas secara ritmik dan terkoordinasi. Pada neonatus pemberian kompresi jantung diberikan bila didapat pulsasi bayi <>

2) Posisi tempat kompresi :
(1) Pada neonatus: 1 jari dibawah linea interpapilaris.
(2) Pada bayi: Sternum bagian bawah.
(3) Pada anak: 2 jari diatas prosesus xipoideus.

3) Tangan yang melakukan kompresi :
(1) Neonatus : menggunakan 2 jari tangan atau 2 ibu jari.
(2) Bayi : dengan menggunakan 2 jari.


Daftar Pustaka
  • Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih Bahasa Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC
  • Jumiarni dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta : EGC
  • Markum, AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
  • Nelson, B. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol 2 edisi 15. Jakarta : EGC
  • Ngastiyah. 1997.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
  • Rilantono, L I. dkk. 1999. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.
  • Saifuddin, A B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
  • Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung Seto
  • Surasmi, A. dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.
  • Tjokronegoro, A dkk. 1998. Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
  • Yu Vy and Monintja, HE. 1997. Beberapa Masalah Perawatan Intesif Neonatus. Jakarta : FKUI
  • Yunanto, dkk. 2003. Laporan Penelitian : Pengaruh BBLR Untuk Terjadinya Asfiksia Neonatorum di RSU Ulin Banjarmasin 2002-2003. Banjar Baru : FKU Lambung Mangkurat/ Perinasia Cabang Kalsel.
  • _________. 1997. Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi RSUD Gunung Jati Cirebon
  • _________. 1997. Penatalaksanaan Resusitasi Pada Bayi RSUD Gunung Jati Cirebon
Penjelasan Kegawatan Pernafasan Pada Bayi

Penjelasan Kegawatan Pernafasan Pada Bayi

Kegawatan pernafasan, adalah keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang relatif cukup lama, sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Dan jika keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan juga pada organ lain.

Selanjutnya dapat terjadi juga depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Yu dan Monintja, 1997).

Etiologi


Towel dalam Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.

Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu yang kurang dari usia 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan lain-lain.

Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya. Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm, yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum maturnya fungsi organ-organ tubuh.

Kegawatan sistem pernafasan dapat terjadi pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram dalam bentuk sindroma gagal nafas dan asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi cukup bulan.

Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekwatnya jumlah surfaktan pada paru-paru. Sementara asfiksia neonatorum merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi beradaptasi terhadap asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya masalah-masalah kehamilan dan pada saat persalinan.

Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekwatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.


Patofisiologi


Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau bahkan kematian.

Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh. bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat.

Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia (Yu dan Monintja, 1997).

Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak sianosis, tetapi sirkulasi darah relatif masih baik. Curah jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peningkatan tekanan darah dan refleks bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengan meningkatkan impuls aferen seperti perangsangan pada kulit. Apneu primer berlangsung sekitar 1 – 2 menit (Yu dan Monintja, 1997).

Apneu primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi. Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi, vasokontriksi dan hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5 menit dan kemudian terjadi apneu sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung, tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah terus menurun. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidsssak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera dimulai (Saifuddin, 2002).


Manifestasi Klinik



Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut :


1) Takhipneu (> 60 kali/menit)

2) Pernafasan dangkal

3) Mendengkur

4) Sianosis

5) Pucat

6) Kelelahan

7) Apneu dan pernafasan tidak teratur

8) Penurunan suhu tubuh

9) Retraksi suprasternal dan substernal

10) Pernafasan cuping hidung


Penatalaksanaan



Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :

1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.

2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.

3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.

4) Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.

5) Mencegah hipotermia.

6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekwat.


Asuhan Keperawatan



Pengkajian

Pengkajian adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah yang dialami klien. Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara yaitu anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik (Surasmi dkk, 2003).


Riwayat Keperawatan

Menurut Surasmi, dkk (2003) data riwayat keperawatan meliputi riwayat kehamilan sekarang (apakah ibu mengalami hipotensi atau perdarahan), riwayat kelahiran (jenis persalinan, lahir dengan asfiksia atau terpajan hipotermia), riwayat keluarga dan nilai APGAR rendah serta tindakan resusitasi yang dilakukan pada bayi.

Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.

Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:


1) Frekuensi nafas

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.



2) Mekanika usaha pernafasan

Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.


3) Warna kulit/membran mukosa

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:


1) Frekuensi jantung dan tekanan darah

Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.


2) Kualitas nadi

Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:


(1) Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)

(2) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.

3) Perfusi pada otak dan respirasi

Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.


Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik meliputi gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg, peningkatan kadar kalium darah, pemeriksaan sinar-X menunjukkan adanya atelektasis, lesitin/spingomielin rasio 2 :1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia kehamilan 33 minggu.


Analisa Data


Data yang terkumpul melalui pengkajian selanjutnya dikelompokkan dan dianalisis untuk merumuskan diagnosa keperawatan. Menurut Suryadi dan Yuliani (2001), diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada bayi dan anak yang mengalami gawat nafas antara lain :

1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.

2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat.

3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.

4) Resiko injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa; O2 dan CO2 dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.

5) Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi, sekunder dari situasi krisis pada bayi.

6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss).

7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya absorpsi.

Perencanaan



Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tujuan dari intervensi keperawatan meliputi :

1) Gangguan pertukaran gas adekwat ditandai dengan nilai analisa gas darah dan saturasi oksigen dalam batas normal.

2) Kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan ditandai dengan bunyi nafas normal dan adanya pergerakan dinding dada.

3) Support ventilator tepat dan ada usaha bayi untuk bernafas yang ditandai dengan analisa gas darah dalam batas normal.

4) Bayi tidak mengalami ketidakseimbangan asam dan basa dan barotrauma.

5) Orang tua bayi akan menerima keadaan anaknya dan mau melakukan bonding dan mengidentifikasi perubahan peran yang terjadi.

6) Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan.

7) Kebutuhan intake nutrisi dapat dipertahankan.


Adapun implementasi yang dapat dilakukan meliputi :



1) Mempertahankan pertukaran gas adekwat.


(1) Identifikasi adanya resiko yang muncul.

(2) Monitor status pernafasan dan lapor ke dokter bila pernafasan memburuk.

(3) Monitor analisa gas darah, pulse oxymetry.

(4) Posisikan bayi dengan tepat.

(5) Pertahankan suhu lingkungan netral.

(6) Pemberian oksigen sesuai dengan program.



2) Meningkatkan kebersihan jalan nafas.


(1) Kaji dada bayi apakah bunyi nafas bilateral dan adanya ekspansi selama inspirasi

(2) Atur posisi bayi utuk memudahkan drainase

(3) Lakukan pengisapan lendir (suction).

(4) Kaji kepatenan jalan nafas setiap jam.

(5) Kaji posisi ketepatan alat ventilator setiap jam.

(6) Auskultasi kedua lapang paru.



3) Meningkatkan pola nafas efektif.


(1) Monitor serial analisa gas darah sesuai program.

(2) Gunakan alat Bantu nafas sesuai program.

(3) Pantau ventilator setiap jam

(4) Berikan lingkungan yang kondusif supaya bayi dapat tidur, gunakan sedatif bila perlu sesuai program.



4) Mencegah injuri berhubungan dengan ketidakseimbangan asam – basa; O2 dan CO2 dan barotrauma.


(1) Evaluasi gas darah untuk melihat fungsi abnormal pernafasan.

(2) Monitor pulse oksimetri

(3) Monitor adanya komplikasi

(4) Pantau dan pertahankan ketepatan posisi alat bantu nafas atau ventilator.



5) Meningkatkan bonding orang tua dan bayi.
 

(1) Jelaskan semua alat (monitor, ETT, ventilator) pada orang tua.

(2) Anjurkan orang tua untuk selalu mengunjungi bayi.

(3) Jika tidak menggunakan oksigen, ajarkan orang tua untuk menyentuh bayi, bercakap dan belaian kasih sayang.

(4) Ajarkan cara orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan bayi.

(5) Instruksikan pada ibu untuk memberikan ASI dan ajarkan cara merangsang pengeluaran ASI.



6) Mencegah kekurangan volume cairan.
 

(1) Pertahankan cairan infus 60 – 100 ml/kg/hari.

(2) Peningkatan pemberian cairan dapat dilihat dari hasil output urine, dan jumlah makanan enteral yang didapat.

(3) Gunakan infus pompa agar jumlah cairan tubuh yang normal dapat dipertahankan.

(4) Moitor intake dan output dan catat secara ketat.

(5) Monitor output urine pada popok.

(6) Kaji elektrolit; sodium dan potasium.

(7) Monitor jumlah infus yang masuk.



7) Memenuhi kebutuhan nutrisi.


(1) Pasang NGT untuk pemberian minum.

(2) Evaluasi abdomen dengan cara auskultasi.

(3) Pastikan bahwa selang NGT masuk tepat pada lambung.

(4) Berikan makanan atau minuman melalui NGT secara bertahap.

(5) Tinggikan kepala anak sedikit pada saat akan minum.

(6) Pemberian makanan atau minuman secara perlahan-lahan.

(7) Pantau sisa makanan atau minuman sebelum pemberian makanan.

(8) Tempatkan bayi dengan posisi miring ke kanan setelah pemberian minum selama satu jam.


Evaluasi dan Perencanaan Pulang

1) Berikan pengajaran perawatan bayi pada orang tua dengan simulasi. Kenalkan pada orang tua utuk mengidentifikasi tanda dan gejala distress pernafasan.

2) Ajarkan pada orang tua bagaimana cara melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dan disimulasikan bila perlu untuk perawatan dirumah.

3) Jika bayi menggunakan monitor di rumah, ajarkan pada orang tua bagaimana mengatasi bila ada alarm.

4) Jelaskan kepada orang tua pentingnya sentuhan dan suara-suara nada sayang didengar oleh bayi.

5) Tekankan pentingnya kontrol ulang dan deteksi dini bila ada kelainan.



Daftar Pustaka

  • Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih Bahasa Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC
  • Jumiarni dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta : EGC
  • Markum, AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
  • Nelson, B. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol 2 edisi 15. Jakarta : EGC
  • Ngastiyah. 1997.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
  • Rilantono, L I. dkk. 1999. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.
  • Saifuddin, A B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
  • Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung Seto
  • Surasmi, A. dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.
  • Yu Vy and Monintja, HE. 1997. Beberapa Masalah Perawatan Intesif Neonatus. Jakarta : FKUI
  • Yunanto, dkk. 2003. Laporan Penelitian : Pengaruh BBLR Untuk Terjadinya Asfiksia Neonatorum di RSU Ulin Banjarmasin 2002-2003. Banjar Baru : FKU Lambung Mangkurat/ Perinasia Cabang Kalsel.
  • _________. 1997. Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi RSUD Gunung Jati Cirebon